Selasa, 30 April 2013

Ayat Perang Dalam Al-qur'a




“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, tawanlah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]: 5)
            Ayat tersebut di atas adalah satu dari sejumlah ayat pada permulaan QS. At-Taubah yang membicarakan pemutusan hubungan (bara’ah) dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik (ayat 1-16). Dengan pemutusan hubungan itu, tidak berlaku perjanjian yang telah dijalin oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik. Yang dimaksud ialah perjanjian untuk tidak saling berperang. Orang-orang musyrik diberi tengang waktu empat bulan untuk berfikir, apakah akan tunduk kepada kekuasaan imat Islam atau melawan. Selama empat bulan itu, orang-orang muslim tidak boleh memerangi atau mengganggu orang-orang musyrik. Sesudah habis masa tengang waktu itu, orang Islam boleh memerangi orang musyrik, melawan mereka dan mengintai mereka keberadaan mereka di mana pun berada, sehinga keadaan menjadi aman  dan umat Islam tidak tertanggu dalam menjalankan agama oleh kajahatan orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila mereka bertaubat, menjalankan shalat, dan membayar zakat, maka mereka diberi kebegbasan keselamatan.
            Pemutusan hubungan itu diumumkan kepada orang-orang musyrik pada bulan Haji tahun ke-9 H. Ketika itu, umat Islam sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Rasulullah saw. mengangkat sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin rombongan dari madinah menuju ke Mekkah. Setelah keberangkatan rombongan, turunlah ayat-ayat Bara’ah itu dan Rasulullah saw. mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib agar mengumumkannya kepada semua pihak yaitu kepada kaum muslim dan kaum musyrik yang pada saat itu sedang berkumpul untuk melaksanakan haji sesuai kebiasaan mereka. Pada hari yang disebut dalam Al-Qur’an hari Haji Akbar, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pengumuman tentang pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrik.
Pengumuman itu disampaikan pada hari-hari ketika Haji Akbar dilaksanakan pada tahun ke-9 H. ada yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari Nahar, tanggal 10 Dzulhijah. Ada juga yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari ‘arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Adapun yang dimaksud dengan Haji Akbar (Haji Besar) ialah ibadah haji yang dilaksanakan p[ada bulan Dzulhijah, dibedakan dengan umrah disebut haji ashghar (haji kecil), yang boleh dilaksanakan sepanjang tahun. Inilah yang dimaksud dengan Haji Akbar. Di dalam masyarakat terdapat pemahaman bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah apabila wuquf jatuh pada hari jumat. Pendapat tersebut tidak ditemukan dasarnya di dalam ajaran Islam.
Marilah kita kembali kepada surah at-Taubah ayat 5 tersebut di atas. “ Faidza insalakha al-asyhur al-hurum faqtulu al-musyrikin haitsu wajadtumuhum…”, (Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka), baik di tanah Haram maupun di luar tanah haram. Adapun yang di maksud dengan “asyhur al-hurum” ialah empat bulan merujuk kepada ayat 2 surah at-taubah, “fasihu fi al-ardhi arba’ata asyhur”, (empat bulan sesudah pengumuman pemutusan hubungan), dimulai tanggal 10 Dzulhijah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Selama empat bulan itu, kaum Muslim memperoleh jaminan keselamatan. Sesudah masa tenggang waktu empat bulan itu usai, berlaku keadaan perang sebagaimana sebelumnya. “Wa’akhudzhum, wahshuruhumwaq’udu lahum kulla marshad” (Dan tangkaplah mereka,tawanlah mereka dan intailah ditempat pengintaian).  Ayat tersebut berisi perintah agar bermacam-macam cara yang tepat dalam strategi perang dilakukan sehingga kaum musyrik tidak memunyai kekuatan dan tidak ada jalan untuk melakukan kejahatan atau melangar aturan yang berlaku dalam ketentuan pemutusan hubungan. Di antaranya bahwa mereka tidak diperbolehkan melaksanakan haji dan berthawaf tanpa busana. “ Fain tabu wa aqamush shalata wa atuz zakata fakhallu sabilahum.” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Ayat ini memberikan pengertian agar perang dihentikan apabila kaum muslim bertaubat, yakni bertaubat dari kemusyrikan yang menjadi penyebab memusuhi umat Islam, dan taubat itu dibuktikan kesungguhannya dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. ayat ini diakhiri dengan firman Allah,” Inna Allah Ghafurun rahim” (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yakni mengampuni dosa-dosa kaum musyrik apabila mereka bertaubat, dan memberikan kasih saying kepada hamba-Nya yang beriman.
Ayat tersebut diatas dinamakan ayat perang (ayat al-qital) karena mengandung perintah berperang. Selain ayat tersebut terdapat beberapa ayat lain yang mengandung perintah berperang, antara lain surah at-taubah [9]:29; al-baqoroh [2]:190;al-anfal [8]:39 dan sebagainya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ayat-ayat perang tersebut di atas me-mansukh-kan  dalam arti membatalkan berlakunya ayat-ayat yang mengandung perintah member maaf kepada orang yang tidak beriman(ayat al-afw). Menurut sebagian musafir, yang dikutif pendapatnya oleh Ibn Katsir, bahwa surah al-Baqoroh [2]: 109 (fa’fu washfahu hatta ya’tiya Allah bi Amrihi) di-nasakh oleh at-Taubah [9]:5 (faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum)dan at-taubah [9]:29 (Qatilu alladzina layu’minuna bi Allah wa bi al-yawm al-akhir). Demikian pendapat Ali bin Abi thalhah dari Ibn ‘Abbas. Demikian juga pendapat Abul ‘Aliyah ar-Rabi’ bin Anas,Qatadah dan as-Suddi, bahwa ayat al-afw tersebut di atas di-mansukh oleh ayat al-sayf. [1]
Perlu dijelaskan bahwa ayat al-afw, yaitu ayat yang mengandung arti pemberian maaf kepada orang-orang kafir, diturunkan dalam periode Mekkah, ketika kondisi umat Islam lemah dan jumlahnya sedikit. Pada waktu itu, diperintahkan agar mereka bersabar dan menahan diri betapapun beratnya menghadapi penganiayaan kaum musyrik.sedangkan ayat qital diturunkan ketika kondisi umat Islam telah kuat, dan banyak jumlahnya. Mereka diperintahkan agar memerangi orang musyrik sebagaimana orang-orang musyrik itu memerangi mereka. Jadi,dalam hal ini tidak ada hukum yang dibatalkan, tetapi penundaan berlakunya perintah melakukan suatu perbuatan yaitu peperangan untuk melawan musuh-musuh Islam karena perbedaan dari kondisi-kondisi yang terjadi pada umat Islam ketika itu.
Dalam menjelaskan kaitan antara ayat al-afw dan ayat al-qital, as-suyuthi berkata di dalam al-itqan bahwa persoalan yang terjadi di sini sesungguhnya bukanlah naskh (pembatalan hukum ) tetapi penundaan (al-mansa’) merujuk kepada firman Allah:
“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun atau kami menjangguhkan (hukumnya) (kecuali) kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu?.”(QS.al-Baqoroh [2]:106)


[1] Tafsir Ibn Katsir, jilid I, h.155-156

Rabu, 10 April 2013

PERBEDAAN NEGARA ISLAM DENGAN NEGARA KAFIR


Istilah dar al-Islam dan dar al-harb/al kufr begitu sangat popular dalam buku-buku fiqih dan sejarah Islam klasik.bahkan,tidak sedikit ulama kontemporer yang masih menggunakan istilah tersebut dengan mengklasifikasi masyarakat berdasarkan keyakinan/akidah;Muslim atau non-Muslim. Al-Maududi,ulama besar Pakistan,misalnya,menyatakan Negara/masyarakat yang tidak menerapkan hukum Allah (hakimiyyatullah) adalah masyarakat jahiliah dan dianggap telah kafir (wilayah/dar al-kufr). 

Mereka yang menerima prinsip-prinsip Negara Islam disebut muslim,dan yang tidak menerima disebut non-muslim.atas dasar itulah masyarakat sebuah Negara Islam dibatasi. senada dengan itu,pakar hukum Islam dari irak,abdul karim zaidan,menulis:”syariah Islam mengelompokan masyarakat berdasarkan sikap mereka terhadap Islam;menolak atau menerima”. berangkat dari pemahaman ini,tidak sedikit kelompok muslim yang melancarkan serangan terhadap pemerintah Negara yang tidak menerapkan hokum Islamsepenuhnya, meskipun pemimpinnya seorang muslim.   

     Menurut mereka, menegakkan hukum Allah adalah sebuah keharusan, dan itu hanya dapat dicapai dengan mendirikan Negara Islam. Wilayah atau Negara yang menerapkan hukum Allah itu disebut.dar al-Islam.sebuah dar al-Islam  berubah statusnya menjadi dar al-kufr/al-harb bila terdapat tiga hal: 1)berlaku hukum-hukum orang kafir; 2) tidak ada rasa aman bagi umat Islam di negeri tersebut; dan 3)berdampingan dengan wilayah kafir yang mengancam ketenangan umat Islam.mengingat hampir seluruh Negara berpenduduk muslim tidak menerapkan hukum Allah,tetapi menggunakan undang-undang atau hukum yang dibuat oleh non-muslim,maka pemerintahan Negara tersebut adalah kafir dan harus diperangi. Bagi mereka, sikap mengesampingakan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia  merupakan tindakan yang dikecam oleh al-Qur’an seperti dalam firman nya:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs.al-Ma’idah [5]: 50).
     Pembagian wilayah /Negara atau masyarakat seperti di atas tidak di temukan dalam al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada di bagian manapun dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit klasifikasi seperti itu, begitu pula dalam sunnah Rasul. Pembagian tersebut merupakan ijtihad atau pandangan para ulama masa lalu dalam menggambarkan pola hubungan antara muslim dan non-muslim, yang di pengaruhi oleh situasi atau realitas saat mereka hidup dulu. Oleh karna itu, tidak patut untuk di pandang sebagai ajaran atau ketentuan agama. Pandangan tersebut dikemukakan dalam rangka merespons realitas yang sudah sangat berbeda dengan relitas saat ini.
     Thariq Ramadhan, cucu pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, menulis dalam bukunya, To Be a European Muslim:

“Dar al-Islam dan Dar al-harb adalah dua konsep yang tidak biasa di temukan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Keduanya sebenarnya tidak berakar pada sumber dasar Islam yang prinsip-prinsipnya di persembahkan untuk seluruh dunia (lil ‘alamin), menembus batas waktu dan segala batasan geografis bahkan, hal itu adalah usaha manusia yang pengaruhi oleh sejarah dengan tujuan untuk mendeskripsikan dunia dan untuk memberi umat Islam suatu standar bagi mengukur dunia dan menyesuaikan diri dengan realitas mereka.”

Besarnya tantangan yang di hadapi dakwah Islam sejak perjalanannya, baik di jazirah Arab maupun di luarnya, membentuk pola pikir tersendiri di kalangan penganutnya dalam menghadapi pihak-pihak di luar Islam. Siksaan dan tekanan yang di lakukan kaum musyrik mekkah, konspirasi yahudi Khaibar, Bani Nadhir, dan Bani Qaynuqa’ serta serangan Persia dari timur dan Romawi Byzantium dari barat adalah sekedar menyebut contoh permusuhan terhadap Islam. Karena itu, sangat wajar kalau kemudian upaya mengamankan misi dakwah menjadi prioritas perhatian para aktivis dakwah pada periode awal. Dan menjadi sangat logis kalau para ahli fiqih dalam mengklasifikasi masyarakat pada waktu itu di pengaruhi oleh suasana psikologis seperti itu yang kemudian melahirkan kategori pembagian wilayah menjadi dar al-Islam (Negara/Islam) dan dar al-harb (Negara/wilayah perang). Istilah dar al-Islam pertama di sematkan kepada kota Madinah, tempat Rasulullah berhijrah. Selanjutnya, setelah perluasan wilayah, satu per satu wilayah tersebut dinamakan dar al-Islam. Sebaliknya, kota/wilayah selain Madinah pada masa awal di sebut wilayah perang dan perjuangan. Istilah lain untuk dar al-harb adalah dar al-kufr (wilayah kufur) atau dar al-syirk (wilayah syirik).