Penulis buku ini memaparkan faktor-faktor penghalang
tersebut secara umum. Di antaranya ada yang menjadi penghalang khusus
peperangan pada masa 1990-an, ada juga faktor penghalang umum. Penulis juga
menegaskan bahwa teks dan redaksi fatwa-fatwa ulama yang pernah ditetapkan
dulu, belum tentu sesuai dan cocok dengan kondisi dan realitas yang kita jalani
sekarang. Sekarang kita bicara tentang pertempuran antara sekelompok pemuda
Muslim dengan para prajurit dan kepolisian negara. Tentu saja kita tidak
mengatakan mereka sebagai kafir. Artinya, meski bersandar pada fatwa tersebut
bukan berarti kita mengkafirkan kepolisian negara.
Kita tahu bahwa Jamaah Islamiyah di Mesir tidak bersentuhan
dengan urusan kafir-mengkafirkan. Mereka tidak mengkafirkan kepolisian negara,
baik sebelum atau sesudah pertempuran yang mereka lakukan. Hal itu sudah terang
benderang. Nah, di antara faktor penghalang tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Jika
kita sudah yakin bahwa jihad itu tidak akan mengantarkan kita pada tujuan yang
diinginkan.
Penulis buku
menjelaskan bahwa jihad tidak disyariatkan untuk jihad itu sendiri. Ia tidak
diperintahkan untuk menumpahkan darah, menghilangkan nyawa, atau membunuh orang
lain. Tidak. Jihad dimaksudkan untuk hal lain, untuk meningggikan agama dan
menghapus kejahatan. Ibnu Abidin berkata, “Jihad
tidak dilakukan kecuali untuk persoalan keimanan dan menegakkan shalat. Jihad
menjadi sesuatu yang baik untuk hal lain.” Masih terkait dengan tujuan
jihad, ia melanjutkan, “Tujuannya adalah membersihkan dunia dari kerusakan.”
Ibnu Daqiq al-Id berkata, “Pada awalnya,
tidak dibenarkan sama sekali untuk menghilangan nyawa. Hal itu diperbolehkan
ketika dimaksudkan untuk menghindari kemudharatan.” Ibnu Taimiyah setuju
dengan pendapat ini. Ia menambahkan, “Apabila
jihad diyakini tidak akan mampu mendatangkan kemaslahatan yang diinginkan, maka
ia tidak lagi diwajibkan. Syariat tidak lagi menganjurkannya.”
Penulis menutup
pembicaraan ini dengan mengutip pendapat yang sangat baik dari Imam Syathibi. “Jika hukum-hukum
syariat dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, maka sebenarnya itu adalah
tujuan utama dari pembuat syariat (Allah). Apabila semuanya berjalan sesuai
dengan koridor syariat, maka tidak ada persoalan. Tetapi jika ternyata hal itu
bertentangan dengan maslahah, meski secara zahir itu bisa dibenarkan, maka hal
itu tidak boleh dilakukan. Karena perintah-perintah syariat tidak dimaksudkan
untuk dirinya sendiri, melainkan ditujukan untuk hal-hal lain, yaitu
kemaslahatan. Artinya, jika sebuah peperangan ditujukan untuk mendatangkan
kemaslahatan dan manfaat, maka ketika sebuah peperangan sudah jelas tidak
berpihak pada kemaslahatan tersebut harus segera dihentikan. Agar tidak banyak
darah kaum muslimin yang terbuang. Meski sebagian dari mereka adalah
orang-orang yang zalim dan otoriter.
2.
Ketika
sebuah peperangan bertentangan dengan petunjuk moralitas.
Sudah kita ketahui
bersama bahwa turunnya para utusan dan kitab-kitab suci dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk kepada manusia. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa
kabar gembira, dan pemberi peringatan.” Misi ini diwariskan kepada setiap
umat oleh nabi-nabi mereka. Misi memberikan petunjuk akhlak. Ini adalah tujuan
utama gerakan Islam pasca-Rasulullah Saw, karena hal itu yang akan mengantarkan
manusia untuk beribadah kepada Allah. Peperangan itu sendiri dianjurkan untuk kepentingan
dakwah; menjaganya dari para perusak; membuka jalan lapang untuk dilalui;
membongkar kekuatan jahiliyah yang menjadi penghalang dakwah bagi sekalian
manusia. Disebutkan di dalam sebuah Hadis bahwa Rasulullah Saw memerintahkan
para panglima perang untuk mengedepankan dakwah daripada perang. Para ahli
fikih sepakat bahwa perang tidak boleh dilakukan atas mereka yang tidak menerima
dakwah sebelumnya. Semua ini menunjukkan bahwa hidayah adalah tujuan utama dan
mulia, bahwa dakwah dan tabligh lebih diutamakan daripada perang dan permusuhan.
Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, keislaman seseorang lebih aku senangi
daripada membunuh seribu orang kafir.” Apabila jihad dan dakwah sama-sama
membuka jalan kepada hidayah, maka tidak diragukan lagi bahwa dakwah harus
lebih dikedepankan dalam konteks ini. Dan itu sudah cukup.