Senin, 30 September 2013

Gambaran Realistis



Setiap persoalan harus ditinjau dari sisi kemaslahatan syariat, baik pada saat ia direncanakan ataupun ketika dilakukan evaluasi terhadapnya. Pertimbangan kemaslahatan ini berada di posisi penting dalam mengarahkan jihad, sebagaimana petunjuk dari para intelektual dan aturan-aturan syariat, atau petunjuk dari para pakar Muslim. Sebagaimana jihad juga harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat. Akan sangat berbahaya jika hukum dilaksanakan jauh dari ranah ini. Sama halnya dengan melaksanakan hukum atau menetapkan fatwa yang jauh dari visi yang realistis. Realitas dianggap sebagai sentral utama dalam penetapan fatwa. Hukum dan fatwa apa pun harus mempertimbangkan dua hal sebagai standarnya:
1.                  Realitas dan hal-hal yang mengitarinya.
2.                  Dalil-dalil syariat yang ada dalam Al-Quran dan Hadis, termasuk referensi hukum lainnya.
Penulis buku ini sangat menyadari bahwa ada banyak pihak yang berusaha untuk menjadikan peristiwa-peristiwa tertentu demi kepentingan mereka sendiri. Terkadang, hal itu bertentangan dengan kemaslahatan besar bangsa. Mereka berupaya melakukan itu dengan cara mengobarkan perselisihan dan menimbulkan gejolak, agar api semakin membesar.

Senin, 23 September 2013

meminimalisir kemudharatan



Kedua, maslahah itu harus benar-benar diperlukan. Jika maslahah itu hanya sekadar kondisional dan perwajahan, ia tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Ketiga, maslahah harus umum dan universal menyangkut masyarakat banyak, atau mayoritas dari mereka. Bukan sekadar kemaslahatan kelompok atau segelintir orang saja. Selanjutnya, pembahasan bergerak pada tataran hukum Islam yang menyatakan bahwa syariat Islam—seperti dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—diturunkan untuk mencapai dan menyempurnakan kemaslahatan bersama, meminimalisir kemudharatan. Syariat mengarahkan untuk memiliki kebaikan yang lebih baik di antara dua kebaikan dan menghindari kemudharatan yang lebih buruk di antara dua kemudharatan. Dengan demikian, tidaklah mungkin tujuan syariat bertentangan dengan kemaslahatan agama dan kemaslahatan duniawi. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Syathibi dalam kitabnya berjudul al-Muwafaqat: “Jika secara eksplisit upaya amar makruf bertentangan dengan kemaslahatan, maka perbuatan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab perintah syariat tidak bertujuan untuk dirinya sendiri, melainkan memiliki maksud yang lain, yaitu kemaslahatan.”
Secara singkat, pembahasan dalam bab ini bisa dirangkum sebagai berikut:
1.                  Keharusan mempertimbangkan kemaslahatan dalam perbuatan dan tindakan orang Muslim dan gerakan Islam.
2.                  Maslahan yang disyariatkan adalah kemaslahatan universal yang memang tidak bisa tidak harus dilakukan.
3.                  Syariat menganjurkan untuk memilih kemaslahatan yang lebih besar dan menghindari kemudharatan yang lebih buruk.
4.                  Jika amar makruf nahi munkar menyebabkan terjadinya kemudharatan yang lebih besar, maka hal itu tidak boleh dilakukan.
5.                  Menghindari sesuatu yang buruk lebih dikedepankan daripada mendatangkan kemaslahatan tertentu.
Sekarang, kita akan meletakkan kaidah-kaidah di atas dalam peristiwa-peristiwa pembunuhan yang bertentangan dengan kaidah tersebut. Hal yang menyebabkan Jamaah Islamiyah melakukan evaluasi berdasar pada tujuan utama syariat dalam konteks ini. Penulis buku ini bertanya-tanya: kenapa peristiwa ini harus terjadi? Kenapa harus ada pertumpahan darah? Kenapa harus ada kekuatan-kekuatan yang menjadi korban? Kenapa harus ada perang? Kenapa harus ada nyawa melayang di antara gerakan-gerakan Islam dan kekuatan negara? Mungkin akan ada orang berkata: Apakah kamu tidak melihat apa yang terjadi pada kita? Apakah kalian tidak mendengar berita penangkapan dan penculikan brutal yang terjadi pada kami? Apakah kalian tidak mendengar penyiksaan kasar yang menimbulkan bekas abadi dalam tubuh pemuda-pemuda kami? Apakah kalian tidak melihat bagaimana masjid dan rumah-rumah kami dirobohkan? Apakah kalian tidak mendengar tentang pelecehan terhadap perempuan dan anak-anak kami? Apakah kalian tidak mendengar berita pencekalan terhadap gerakan dakwah dan larangan untuk memberikan pidato? Tidakkah kalian tahu bahwa peristiwa-peristiwa inilah yang menyebabkan kami mengangkat senjata untuk mempertahankan diri dan menjaga gerakan dakwah kami?

Selasa, 17 September 2013

jihad bukanlah semata pertumpahan darah



Kedua penulis buku ini juga mengutip sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Andai bukan karena bangsamu baru masuk Islam, tentu aku akan memerintahkan untuk merobohkan baitullah dan memasukkan apa yang telah dikeluarkan darinya.” Rasulullah Saw melarang merobohkan baitullah dan membangunnya kembali, karena beliau memahami kondisi keimanan penduduk Mekah. Beliau menghindari sesuatu yang bisa menyebabkan fitnah akibat rekonstruksi baitullah, yang tentu saja hal itu berrarti sebuah kemudharatan. Beliau melarang untuk membangun kembali baitullah berdasar pondasi-pondasi yang seharusnya ditetapkan. Inilah kemaslahatan yang dimaksudkan Hadis di atas.
Contoh lain adalah apa yang dilakukan Khalid bin Walid ketika kembali dari peperangan Mu’tah, membawa pulang sebuah pasukan berjumlah 3000 orang. Mereka harus berhadapan dengan 20.000 prajurit dari Romawi, setelah sebelumnya tiga panglima kaum muslimin telah terbunuh. Khalid melakukan itu agar pasukan Islam tidak dibantai satu demi satu. Hal itu, dalam pandangannya, hanya akan menjadi sejarah buruk bagi negara Islam yang baru dibangun. Sebagian orang melihat aksi Khalid ini sebagai perbuatan lari dari peperangan, sebagai sebuah kekalahan. Tetapi Rasulullah Saw memuji tindakan Khalid dalam peperangan ini dan memberikan gelar kepadanya sebagai Pedang Tuhan, saifullah. Rasulullah menganggap apa yang dilakukan Khalid sebagai sebuah kemenangan.
Penulis buku ini mengatakan, menyelamatkan pasukan dari pembantaian adalah sebuah langkah yang sangat baik. Secara eksplisit mundurnya pasukan itu terlihat sebagai sebuah kekalahan, tetapi seorang panglima besar bisa melihat situasi dengan baik dan melihat adanya kemaslahatan dalam menarik mundur pasukan, menyelamatkan pasukan yang tinggal sedikit. Langkah ini dipuji oleh Rasulullah Saw, karena tujuan dari jihad bukanlah semata pertumpahan darah dan menjemput kematian melainkan mencapai tujuan peperangan, yaitu mengagungkan kalimat Allah dan menyebarkan agama-Nya. Tujuan ini tidak akan terwujud jika pasukan Islam dibantai hingga ke akar-akarnya.

Minggu, 15 September 2013

Kemaslahatan dan Kemudharatan



Buku ini menjelaskan bahwa kesepakatan damai dibuat bukan untuk merendahkan nilai perjuangan agama dan syariat Islam atau menukarnya dengan nilai duniawi yang murahan. Tidak sama sekali terpikirkan. Melainkan karena peperangan sudah tidak lagi berjalan dalam koridor syariat disebabkan kemudharatan yang ditimbulkan. Buku ini juga mengurai kesulitan-kesulitan yang pernah dialami oleh para pembesar Jamaah, mulai dari wacana-wacana yang memojokkan hingga dakwaan yang tak berdasar. Yang paling parah adalah keraguan para pembesar Jamaah yang berada di luar Mesir yang tidak meyakini bahwa kesepakatan damai itu adalah keputusan internal dari kalangan Jamaah Islamiyah. Semua itu diperparah oleh sulitnya komunikasi yang mereka alami, antara penjara dengan dunia di luar penjara. Sulit untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi yang utuh.
Kesulitan lain yang memperkeruh suasana adalah peristiwa Luxor (penyerangan dan pelencehan terhadap kaum perempuan dan anak-anak) tidak lama setelah mereka menetapkan kesepakatan damai. Meski Jamaah Islamiyah bisa mengendallikan suasana, tetapi tekanan itu terus terjadi, menggerogoti jiwa-jiwa dalam gerakan, melalui peristiwa yang dianggap tidak biasa tersebut. Namun, pada akhirnya, muncul dukungan dari para anggota Jamaah di luar negeri, secara pribadi maupun organisasi. Hingga pada akhirnya, kesepakatan damai itu didukung sepenuhnya oleh lembaga, dalam keterangan yang dikeluarkan pada 28 Maret 1999. Sejak itu, semua gerakan perang dihentikan dan wacana-wacana yang memojokkan mulai sirna. Jalan keluar terkait dengan para tahanan mulai tampak terang. Begitulah kedua penulis buku ini menulis.
Pemikiran selanjutnya mengarah kepada bagaimana membangun masa depan yang lebih cerah dan lebih terarah. Terkait wacana-wacana yang memojokkan Jamaah, penulis buku ini mengatakan bahwa hal itu hari demi hari mulai sirna. Mulai bermunculan dukungan atas kejujuran dan keteguhan Jamaah dalam memenuhi janji mereka, meskipun masih ada tekanan-tekanan yang menyertainya. Selanjutnya, penulis memaparkan dalil-dalil dan pemahaman yang benar seputar kesepakatan damai dalam bab-bab berikutnya.

Bab Pertama
Kemaslahatan dan Kemudharatan
Penulis berusaha menjelaskan dasar-dasar syariat yang menganjurkan bagaimana kemaslahatan agama dan dunia bisa diraih, sekaligus menghindari kemudharatan dan kerusakan. Mereka berdua menjelaskan esensi dari maslahah—yang oleh Imam Ghazali dalam bukunya berjudul al-Mustashfa disebut sebagai “sesuatu yang menjaga tujuan peletak syariat (Allah)”. Tujuan ini, dalam konteks manusia, diejawantahkan dalam upaya konkret menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menurut penulis buku ini, orang yang kehilangan salah satu dari lima hal tersebut berada dalam kondisi yang buruk.
Upaya menghindari kondisi buruk ini, dalam pandangan syariat, merupakan sebuah kemaslahatan. Kita tahu, syariat Islam datang untuk menciptakan dan menyempurnakan kemaslahatan dan kebaikan, meminimalisir kejahatan dan keburukan. Syariat menganjurkan kita memilih yang paling baik di antara dua hal yang baik, menghindari hal yang paling buruk dari dua hal yang sama-sama buruk, meraih maslahah yang lebih besar jika memungkinkan, dan menghindari kejahatan yang lebih besar jika harus terjadi. Hal ini didukung sepenuhnya oleh maqashid (tujuan-tujuan) syariat, berdasar dalil-dalil teks dan nalar-nalar logis.