Buku ini menjelaskan bahwa kesepakatan damai dibuat bukan
untuk merendahkan nilai perjuangan agama dan syariat Islam atau menukarnya dengan
nilai duniawi yang murahan. Tidak sama sekali terpikirkan. Melainkan karena peperangan
sudah tidak lagi berjalan dalam koridor syariat disebabkan kemudharatan yang ditimbulkan.
Buku ini juga mengurai kesulitan-kesulitan yang pernah dialami oleh para
pembesar Jamaah, mulai dari wacana-wacana yang memojokkan hingga dakwaan yang
tak berdasar. Yang paling parah adalah keraguan para pembesar Jamaah yang
berada di luar Mesir yang tidak meyakini bahwa kesepakatan damai itu adalah keputusan
internal dari kalangan Jamaah Islamiyah. Semua itu diperparah oleh sulitnya
komunikasi yang mereka alami, antara penjara dengan dunia di luar penjara.
Sulit untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi yang utuh.
Kesulitan lain yang memperkeruh suasana adalah peristiwa
Luxor (penyerangan dan pelencehan terhadap kaum perempuan dan anak-anak) tidak
lama setelah mereka menetapkan kesepakatan damai. Meski Jamaah Islamiyah bisa
mengendallikan suasana, tetapi tekanan itu terus terjadi, menggerogoti
jiwa-jiwa dalam gerakan, melalui peristiwa yang dianggap tidak biasa tersebut.
Namun, pada akhirnya, muncul dukungan dari para anggota Jamaah di luar negeri,
secara pribadi maupun organisasi. Hingga pada akhirnya, kesepakatan damai itu
didukung sepenuhnya oleh lembaga, dalam keterangan yang dikeluarkan pada 28
Maret 1999. Sejak itu, semua gerakan perang dihentikan dan wacana-wacana yang
memojokkan mulai sirna. Jalan keluar terkait dengan para tahanan mulai tampak
terang. Begitulah kedua penulis buku ini menulis.
Pemikiran selanjutnya mengarah kepada bagaimana membangun
masa depan yang lebih cerah dan lebih terarah. Terkait wacana-wacana yang
memojokkan Jamaah, penulis buku ini mengatakan bahwa hal itu hari demi hari
mulai sirna. Mulai bermunculan dukungan atas kejujuran dan keteguhan Jamaah
dalam memenuhi janji mereka, meskipun masih ada tekanan-tekanan yang
menyertainya. Selanjutnya, penulis memaparkan dalil-dalil dan pemahaman yang
benar seputar kesepakatan damai dalam bab-bab berikutnya.
Bab Pertama
Kemaslahatan dan Kemudharatan
Penulis berusaha menjelaskan dasar-dasar syariat yang
menganjurkan bagaimana kemaslahatan agama dan dunia bisa diraih, sekaligus
menghindari kemudharatan dan kerusakan. Mereka berdua menjelaskan esensi dari maslahah—yang
oleh Imam Ghazali dalam bukunya berjudul al-Mustashfa disebut sebagai “sesuatu
yang menjaga tujuan peletak syariat (Allah)”. Tujuan ini, dalam konteks
manusia, diejawantahkan dalam upaya konkret menjaga lima hal: agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Menurut penulis buku ini, orang yang kehilangan salah
satu dari lima hal tersebut berada dalam kondisi yang buruk.
Upaya menghindari kondisi buruk ini, dalam pandangan
syariat, merupakan sebuah kemaslahatan. Kita tahu, syariat Islam datang untuk
menciptakan dan menyempurnakan kemaslahatan dan kebaikan, meminimalisir
kejahatan dan keburukan. Syariat menganjurkan kita memilih yang paling baik di
antara dua hal yang baik, menghindari hal yang paling buruk dari dua hal yang
sama-sama buruk, meraih maslahah yang lebih besar jika memungkinkan, dan
menghindari kejahatan yang lebih besar jika harus terjadi. Hal ini didukung
sepenuhnya oleh maqashid (tujuan-tujuan) syariat, berdasar dalil-dalil
teks dan nalar-nalar logis.