Rabu, 29 Mei 2013

Menutupi Aib ORang Lain


Bab ini menerangkan bahwa mengumumkan pelaku kemaksiatan dapat membuatnya kehilangan kehormatan. Karena itu, seorang penegak amar makruf nahi mungkar tidak boleh  berkoar-koar mengenai seseorang yang telah berbuat maksiat. Alasannya, hal itu dapat membuat semua orang kelak akan mempermalukan si pelaku maksiat sepanjang hidupnya. Justru yang harus dilakukan adalah menutupi keburukan si pelaku maksiat itu agar ia dapat kembali bermasyarakat dan menjadi orang baik.

Sebuah teladan yang sangat baik pernah ditunjukkan Rasulullah Saw. Yaitu ketika ada seorang sahabat Anshar yang mempertontonkan budaknya yang telah berzina kepada banyak orang. Rasulullah Saw segera bertindak untuk mencegah hal itu sehingga sang budak bisa diselamatkan dari aib yang lebih besar. Dalam sebuah Hadis, disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Jika salah seorang budakmu berbuat zina maka telitilah dengan saksama. Jika memang terbukti ia telah berzina maka hukumlah ia dengan hukuman hudud, lalu tutupi-tutupilah aibnya itu.” Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw melarang pemilik budak itu untuk mempermalukan budaknya di depan umum.

Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa melihat aib orang lain lalu ia menutupinya maka ia laksana telah menolong orang lain itu dari kematian akibat sedang dikubur hidup-hidup.” Dalam sebuah Hadis lain, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menutupi aib saudaranya maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat. Barang siapa membuka aib saudaranya maka Allah akan membuka semua aibnya, bahkan sampai aib yang ia sembunyikan di dalam rumahnya.”

Kedua penulis mengakui bahwa ditutupnya aib pelaku kemungkaran merupakan sebuah hadiah dari Rasulullah Saw. Adapun orang yang mau menutupi aibnya itu maka dijanjikan akan mendapatkan balasan terbaik di dunia dan akhirat, bahkan akan dimasukkan ke dalam surga. Dalam sebuah Hadis Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” Abu Sa’id Al-Khudri juga pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang mukmin mengetahui aib saudaranya lalu ia menutupinya maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga.” (hal. 57)

Kedua penulis mengungkapkan bahwa ditutupinya aib pelaku kemungkaran merupakan salah satu faktor penting demi mencegah semakin tersebarnya kemungkaran yang sama. Hal itulah yang menjadi tujuan utama adanya perintah amar makruf nahi mungkar. 

Senin, 27 Mei 2013

Jauhi Prasangka


Prasangka yang harus dijauhi dalam hal ini adalah prasangka buruk. Menurut Ibnu Katsir, prasangka buruk adalah dakwaan yang tidak pada tempatnya tanpa dilatari dasar yang jelas atau menghukumi sesuatu secara tergesa-gesa tanpa petunjuk yang kuat. Jika prasangka buruk ini sudah menyebar dalam suatu masyarakat maka tidak akan ada lagi rasa aman dan nyaman di antara para anggota masyarakat. Hal itu karena setiap kali ada gerakan atau tindakan tertentu dari orang lain maka langsung dicurigai akan membahayakan dirinya dengan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, tidak menutp kemungkinan, kecurigaan yang ada dapat menyebabkan terjadinya perselisihan kecil yang bisa-bisa sampai menimbulkan perkelahian fisik, atau malah sampai pembunuhan. (hal. 45)

Kedua penulis juga mengutarakan akibat dan mudharat dari adanya prasangka buruk, juga tentang penyebab terjadinya prasangka buruk, yaitu mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dan adu domba. Untuk itu, Allah benar-benar melarang prasangka buruk melalui firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Demikian pula Rasulullah Sawmenegaskan larangan prasangka buruk. Dalam sebuah Hadis, Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw tengah thawaf di Ka’bah lalu bersabda, “Betapa suci engkau, betapa wangi baumu, betapa agung engkau, betapa agung kehormatanmu. Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kehormatan seorang mukmin di hadapan Allah masih lebih agung dibanding kehormatanmu, hartanya... juga nyawanya.... Janganlah seseorang berprasangka kecuali dengan prasangka yang baik.”

Dalam Hadis yang lain disebutkan bahwa beliau juga bersabda, “Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling buruk.” Hadis yang lain menegaskan, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Maksud Hadis ini adalah bahwa jika seseorang telah dikuasai setan sehingga ia mengedepankan prasangka buruknya maka ia tidak akan mampu berpikir jernih lagi untuk meneliti fakta yang sebenarnya. Betapa hancur sebuah masyarakat jika di antara individu-individu di dalamnya berkembang rasa curiga, prasangka buruk, dakwaan tanpa dalil yang kuat, dan rasa tidak saling percaya. Tentu masyarakat itu akan mudah tercerai-berai. Hal itu sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, yaitu ketika beliau diuji dengan kisah Hadisul-ifki (sebuah dakwaan perselingkuhan atas Siti Aisyah Ra yang dilancarkan oleh kaum munafik). Allah Swt berfirman, “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata’” (QS. An-Nur [24]: 12). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat....” (QS. An-Nur [24]: 19). (hal. 49)

Kedua penulsi mengakhiri bab ini dengan mengatakan bahwa prasangka buruk merupakan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap mukmin karena prasangka ini mengandung dosa. Namun, bagi pelaku amar makruf nahi mungkar, mencegah prasangka buruk menjadi lebih ditekankan lagi. Hal itu karena saat menyembah Allah, setiap makhluk harus berprasangka baik kepada-Nya. Prasangka baik pula yang harus didahulukan saat berinteraksi dengan kaum muslimin secara umum. sebaliknya, prasangka buruk tidak boleh dilakukan di hadapan kaum muslimin karena itu mengandung dosa dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Sudah disebutkan di atas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Kedua penulis juga mengutip perkataan Mu’awiyah, “Jika engkau mencari-cari kesalahan orang lain maka engkau pasti akan merusak dirinya atau berpotensi merusak dirinya.”

Kamis, 23 Mei 2013

Iklas



Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.

Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.

Kamis, 16 Mei 2013

Jihad Menghadapi Musuh Nyata



Yang di maksud yang nyata ialah orang-orang yang memusuhi Islam, yaitu orang-orang kafir dan munafik. Perintah jihad kepada orang-orang kafir dan munafik di sebutkan di dalam al-Qur’an:

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Dalam surat an-Nisa’ [4]: 95-96, Allah menjelaskan keutamaan orang yang berjihad d jalan Allah:

“Tidaklah sama mukmin yang duduk, selain yang mempunyai uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan diri mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk, dengan pahala yang besar; (yaitu) beberapa derajat darinya, dan ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
     Pada ayat lain, Allah berfirman dengan menggunakan redaksi “qatilu” (artinya: “perangilah”), sebagaimana tersebut di dalam surah At-Taubah [9]: 123:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketehuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
Perang dengan senjata adalah salah satu bentuk jihad yang di perintahkan dalam agama yang diperintahkan dalam kondisi tertentu. Menengok kepada sejarah, umat Islam menetap di Mekkah

Selasa, 14 Mei 2013

Bagaimana Menyikapi Negara Yang Tidak Menerapkan Hukum Allah?


 


Dalam sebuah hadits shahih, Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan sebaliknya mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin adalahyang memurkai kalian dan kalian juga murka kepada mereka, yang melaknat kalian dan kalian pun melaknat mereka”. Aut berkata, “Wahai Rasulullah, apakah boleh kami perangi mereka? Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka melaksanakan sholat, maka doakanlah mereka”. Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah, dijelaskan bahwa seseorang yang menolak perilaku penguasa yang zhalim dengan mendoakan, karna tidak mampu mengubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka dia telah lepas dari tanggung jawab. Tetapi, mereka yang mengikuti langkah zalim penguasa mereka itulah yang berbuat maksiat (al-‘ashi).
     Berdasarkan Hadits di atas, kita dapat berkata bahwa Islam tidak memperkenankan perbuatan melanggar hukum terhadap penguasa Muslim dan membunuh atau memeranginya selama mereka melaksanakan beberapa ketentuan ajaran Islam, walaupun hanya mendirikan sholat. Seorang muslim yang mendapati penguasa yang melanggar ajaran Islam hendaknya memberi nasihat dan menempuh jalan damai. Sebab, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits, agama adalah nasihat, di antaranya bagi pemimpin muslim. Jika mereka melanggar ketentuan ajaran Islam, maka penduduk muslim tidak boleh menaatinya. Taat kepada penguasa hanya diperkenankan dalam batas-batas yang telah di tetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Rakyat harus terus mengingatkan agar ajaran Islam di tegakkan dengan baik melalui keteladanan dan argumentasi yang meyakinkan, bukan dengan mengafirkan atau memerangi dan membunuh mereka. Dalam kaitan ini Imam Nawawi berkata:
“Janganlah kalian menghalangi dan mengkhianati penguasa dalam menjalankan pemerintahan, kecuali jika mereka secara terang-terangan mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah kalian ketahui. Jika kalian mendapati mereka sedemikian rupa, maka tolaklah dan sampaikan kebenaran di mana kalian berada. Adapun tindakan memboikot dan memerangi mereka, maka hukum haram berdasarkan kesepakatan (ijmak ulama), meskipun mereka fasik dan zalim. Penguasa yang zalim tidak dapat begitu saja dilengserkan atau di khianati, sebab hal itu dapat menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat, pertumpahan darah, terputusnya hubungan persaudaraan, sehingga dampak buruk jauh lebih besar dari kezaliman yang di lakukanya.”
     Menurut Imam ad-Dawudi, mayoritas ulama berpandangan dalam hal penguasa yang zalim, bila memungkinkan untuk di lengserkan tanpa menimbulkan gejolak (fitnah) di tengah masyarakat dan di lakukan secara legal maka hukumnya wajib. Tetapi bila tidak, maka hendaknya bersabar dengan mendoakannya.
     Diakui, di Negara ajaran Islam, hukum-hukum Islam tidak di terapkan secara menyeluruh (kaffah/komperhensif), padahal umat Islam di tuntut menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran individu maupun masyarakat. Tetapi, sejarah membuktikan,tuntutan agar di terapkan hukum Islam oleh penguasa melalui aksi kekerasan dan benturan senjata tidak pernah berhasil mengembalikan syariah Islam yang ‘hilang’ (tidak di terapkan). Bahkan sebaliknya, seperti di akui oleh kelompok Jamaah Islamiyah, mesir, yang telah menyatakan pertobatan massal  mereka tahun 1997, aksi kekerasan justru menimbulkan petaka besar bagi Islam dan umat Islam. Peledakan dan pengeboman yang di lakukan sejumlah aktivis muslim bersenjata di beberapa Negara telah mempersempit ruang gerak dakwah Islam. Sikap anti Islam merebak di Negara-negara barat. Amerika Serikat dan sekutunya dengan beraninya mengintervensi Negara-negara Islam dengan alasan mencegah pemikiran dan sikap radikal di kalangan umat Islam. Aksi-aksi seperti itu juga telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Islam karena iklim usaha yang tidak konduksif akibat hilangnya rasa aman.
     Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa melakukan pemberontakan dan upaya penggulingan suatu pemerintahan yang sah dengan alasan pengafiran massal terhadap Negara-rakyat dan pemerintah-berdasarkan ketiga ayat surah al-Ma’idah tersebut, merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama. Lebih-lebih lagi bila di ketahui bahwa terdapat banyak ayat al-Qur’an dan sabda Nabi saw. Yang melarang untuk gegabah mengafirkan sesama Muslim tanpa bukti-bukti yang jelas dan meyakinkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Ambillah misalnya firman Allah dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 94:
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.”
     Berkaitan dengan larangan untuk tidak gegabah mengafirkan sesama Muslim, Rasulullah saw. Mewanti-wanti, antara lain, melalui dua sabdanya:
“Tiga hal yang termasuk prinsip keimanan, di antaranya, tidak menyakiti orang yang mengucapkan la ilaha illAllah, tidak mengafirkan karena berbuat dosa, dan tidak mengeluarkan dari Islam karena amalnya.
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain sebagai fasik dan kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya jika yang di tuduh tidak demikian keadaannya”. (HR. Ahmad)
     Dari nash-nash di atas menjadi jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan mengafirkan seorang muslim yang telah berbuat dosa_lebih-lebih dalam bentuk takfir missal terhadap Negara-baik dosa karena meninggalkan kewajiban maupun menjalankan yang di haramkan. Bahkan, begitu keras larangan mengafirkan sesame Muslim dalam Islam, sampai-sampai tuduhan kafir yang dilontarkan seseorang, jika tidak benar, justru akan menjadi boomerang bagi si penuduh, wal-‘iyadzu billah.