Senin, 24 Juni 2013

Contoh Beberapa Kasus Tindakan Nahi Mungkar yang Berlebihan


Kedua penulis menerangkan bahwa bab ini ditulis tidak untuk menghentikan penegakan nahi mungkar. Penulis hanya ingin memastikan agar penegakan nahi mungkar tidak terkesan berlebihan. Bagaimanapun, amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban bersama. (hal 161)

Contoh 1
Menghentikan dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan, di tengah jalan, hanya karena menyangka keduanya bukan mahram.
Hal ini tidak diperbolehan karena masuk dalam perbuatan berprasangka buruk yang sudah sudah jelas dilarang. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah yang disetujui pula oleh Abu Ya’la mengatakan, “Jika seseorang melihat seorang laki-laki tengah berjalan dengan seorang perempuan, sedangkan tidak jelas keduanya mahram atau bukan, maka ia tidak boleh menghentikan apalagi mengganggu keduanya.”

Contoh 2
Menghentikan para seniman yang dalam perjalanan pulang dari pesta-pesta hiburan foya-foya dan menghancurkan alat-alat seni mereka.
Nahi mungkar harus dilakukan atas kemungkaran yang sedang berlangsung. Karena itu, menghancurkan alat-alat seni di tengah jalan tidak boleh dilakukan karena tidak terbukti sedang digunakan untuk kemungkaran. Hukuman atas pelaku kemungkaran, termasuk jika harus merusak alat-alat tertentu, merupakan kewenangan hakim (pemerintah). Itu pun setelah dilakukan penyelidikan mendalam dan sudah mendapatkan vonis yang jelas. Pegiat amar makruf nahi mungkar tidak memiliki kewenangan apa pun dalam hal ini, apalagi sampai memukul para pembawa alat-alat seni tersebut yang mungkin tidak tahu-menahu.

Contoh 3
Seseorang menyangka ada perzinaan di dalam suatu rumah, lalu ia pun memanggil-manggil orang lain untuk menggerebek rumah tersebut dan memukul orang yang ada di dalamnya.
Penggerebekan semacam ini tidak diperbolehkan karena mengandung banyak unsur pelanggaran aturan. Di antaranya (1) memercayai begitu saja seseorang yang sendirian dan tidak dikenal, (2) mencari-cari dan memata-matai kemungkaran, (3) menggerebek kemungkaran yang dilakukan di dalam rumah yang tengah tertutup, serta (4) memukul orang lain yang  merupakan kewenangan pemerintah.

Contoh 4
Memukul orang yang tengah terlihat mabuk di tengah jalan.
Hal ini tidak diperbolehkan karena beberapa hal: (1) orang mabuk itu sedang tidak melakukan kemungkaran; mungkin dia sebelumnya meminum khamar, tetapi toh sudah selesai melakukan kemungkarannya, (2) memukul orang lain. Kalaupun peminum khamar harus dihukum dengan dipukul maka pemukulan itu adalah kewenangan pemerintah, bukan masyarakat umum.

Contoh 5
Membakar toko yang menjual VCD porno.
Hal ini tidak diperbolehkan karena bisa jadi toko tersebut juga menjual VCD lain yang tidak melanggar aturan. Nahi mungkar memang harus dilakukan, tetapi tidak boleh sampai merusak sesuatu yang tidak mungkar. Lagi pula, pelaku pembakaran belum tentu sudah melewati tingkatan-tingkatan yang sudah dijelaskan tadi di atas.

Contoh 6
Adanya beberapa pemuda yang menyiramkan air mendidih ke wajah perempuan yang bersolek karena dianggap berlaku mungkar.
Hal ini merupakan salah satu tindakan yang jauh dari aturan karena pemuda-pemuda tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan menjatuhkan hukuman. Hukuman hanya bisa dijatuhkan oleh pemerintah melalui kehakiman.

Contoh 7
Memaksakan pendapat sendiri atas permasalahan yang masih menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, lalu menghardik atau berteriak atau malah bertengkar dengan orang lain yang pendapatnya berbeda. Bahkan hal itu dilakukan di dalam masjid. Seperti soal melafalkan niat sebelum shalat, membaca doa qunut saat shalat subuh, dan berzikir dengan suara keras usai shalat berjamaah.
Hardikan, teriakan, atau pertengkaran seperti itu justru dapat menimbulkan kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang ada yang ia sangka, di antaranya sebagai berikut.
  1. Permasalahan tersebut merupakan masalah khilafiyah yang sama sekali tidak menjadi domain tindakan amar makruf nahi mungkar.
  2. Tindakan nahi mungkar didasarkan pada pendapat sendiri dan justru menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar menurut pendapat kebanyakan orang.
  3. Menjatuhkan wibawa masjid dan mengganggu kaum muslimin lain yang ada di dalamnya.

Contoh 8
Merusak alat-alat musik dan memukul para tamu undangan dalam pesta pernikahan.
Tindakan itu merupakan kemungkaran yang justru lebih mungkar dari kemungkaran yang sudah ada. Jika hal itu dilakukan maka tidak ada lagi rasa aman dan tenteram dalam masyarakat. Karena itu, tindakan ini bisa dikategorikan melawan pemerintah yang sah.

Contoh 9
Menghancurkan televisi di rumah karena dianggap mendatangkan kemungkaran.
Hal ini melawan aturan dalam beberapa hal, di antaranya sebagai berikut:
  1. Televisi merupakan alat yang netral, mengandung sisi positif dan sisi negatif. Menganggap televisi sebagai pembawa sisi negatif belaka sama sekali tidak dibenarkan karena televisi juga mengandung banyak hal yang bermanfaat.
  2. Menghancurkan televisi di rumah berarti melawan orang tua dan mengganggu anggota keluarga lain yang mungkin membutuhkan televisi. Allah Swt justru memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, bukan malah melawan keduanya.

Contoh 10
Beberapa pemuda berkumpul lalu berjalan bersama-sama melakukan sweeping di taman, pasar, atau tempat lain untuk mencari-cari kemungkaran dan menanggulanginya.
Kegiatan seperti ini jauh dari kebenaran, justru melanggar beberapa aturan. Di antaranya bahwa kemungkaran yang harus diberantas adalah kemungkaran yang jelas ada di depan mata, bukan dicari-cari dari karena tersembunyi. Mengumpulkan banyak orang dan mengangkat senjata untuk memberantas kemungkaran juga tidak diperkenankan oleh para ulama karena justru dapat menimbulkan fitnah dan huru-hara.

Kedua penulis menutup buku ini dengan mengatakan bahwa penting bagi pegiat amar makruf nahi mungkar untuk memerhatikan saran-saran yang ada dalam buku ini. Hal itu agar kegiatan amar makruf nahi mungkar terlihat ramah, lembut, dan penuh kasih sayang serta jauh dari kesan kasar, keras, dan garang. Dengan begitu, pegiat amar makruf nahi mungkar dapat memosisikan diri sebagai aggota masyarakat yang mencintai dan dicintai seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan amar makruf nahi mungkar harus menjadi kilauan cahaya hidayah, bukan menjadi kilatan pedang pasukan perang.

Rabu, 19 Juni 2013

Menghindari Penegakan Nahi karena Khawatir Menimbulkan Mudharat yang Lebih Besar

Image
Membuka bab ini, kedua penulis bertanya-tanya, bagaimana jika pelaku amar makruf nahi mungkar memperkirakan bahwa kemungkaran tidak akan berhenti dengan tindakannya, malah bisa berubah menjadi kemungkaran yang lebih dahsyat lagi? Dalam keadaan seperti ini, apakah penegak amar makruf nahi mungkar sebaiknya meneruskan tindakannya untuk menghentikan kemungkaran, ataukah sebaiknya ia tidak meneruskan usaha tindakannya tersebut? Jika ia memutuskan meneruskan usahanya itu, apakah berarti ia harus bersikap masa bodoh dengan akibat usahanya itu, yaitu kemungkinan berubahnya kemungkaran menjadi kemungkaran yang lebih besar?

Kedua penulis lalu mencontohkan beberapa kasus. Misalnya menyiram wajah perempuan yang bersolek dengan air mendidih, atau menghancurkan kuburan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya, atau menggusur lokalisasi prostitusi tanpa memberikan solusi alternatif pilihan alih pekerjaan. Tindakan-tindakan tersebut memang bisa diniatkan sebagai penegakan nahi mungkar, tetapi justru dapat menimbulkan kemungkaran atau mudharat yang jauh lebih besar. Atas tindakan-tindakan seperti itu, Asy-Syathibi menyebutnya sebagai tindakan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran syariat. Jika kemaslahatan yang lebih besar tidak dicapai maka suatu tindakan tidak bisa dikatakan menjadi amar makruf nahi mungkar. Demikian dinyatakan juga oleh Al-Izz bin Abdussalam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun dalam kitab Fatawa-nya mengatakan bahwa syariat Islam diajarkan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan mudharat. Jika ada dua maslahat bertentangan maka yang diperjuangkan adalah maslahat yang lebih besar, sedangkan bila ada dua mudharat yang mungkin timbul maka yang dijauhkan adalah mudharat yang lebih besar. Allah Swt berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....’” (QS. Al-Baqarah [2]: 219).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa perintah melakukan amar makruf nahi mungkar memang disebutkan secara umum. Artinya seperti tidak ada pengecualian sama sekali. Namun, menurut Imam Al-Ghazali, pada praktiknya, penegakan amar makruf nahi mungkar harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan begitu, memungkinkan adanya pengecualian dalam tindakan amar makruf nahi mungkar, baik berdasarkan ijmak maupun qiyas (silogisme). Tindakan yang dilakukan dalam nahi mungkar, misalnya, harus dilihat dari pelaku kemungkarannya, tidak sekadar perbuatan mungkarannya. Jika jelas diketahui bahwa pelaku kemungkaran itu tidak mungkin bisa dicegah atau ditanggulangi dari kemungkaran tersebut maka bisa jadi memang tak ada gunanya menegakan nahi mungkar terhadapnya.

Kedua penulis bahkan menyatakan, jika seseorang memperkirakan penegakan nahi mungkar justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka tanpa diragukan lagi wajib baginya untuk meningalkan penegakan nahi mungkar. (hal. 141)

Kedua penulis kemudian menutup bab ini dengan mengutarakan bahwa menghindari tindakan nahi mungkar seperti itu memang biasanya luput dari perhatian kebanyakan orang. Untuk itu, bab ini menjadi sangat penting bagi para penegak amar makruf nahi mungkar. Sesungguhnya ajaran-ajaran syariat Islam saling melengkapi satu sama lain. Ajaran-ajaran tersebut tidak mungkin saling bertentangan karena syariat Islam datang dari Allah yang Maha Mengetahui dan Mahateliti. Karena itu, penegakan amar makruf nahi mungkar tidak selayaknya bertentangan dengan tujuan dan kelembutan dakwah. Harus diakui pula bahwa hilangnya kemungkaran dari seseorang juga didasarkan pada  hidayah dari Allah Swt. Dengan begitu, penegakan amar makruf nahi mungkar jangan sampai bertentangan dengan tujuan amar makruf nahi mungkar lain yang lebih besar.

Senin, 17 Juni 2013

Gugur Kewajiban karena Lemah




Kedua penulis menerangkan bahwa amar makruf nahi mungkar bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih tertata. Dengan amar makruf nahi mungkar ini, diharapkan masyarakat dapat dijauhkan dari kerusakan dan mudharat. Karena itu, apabila penegakan amar makruf nahi mungkar justru mengundang unsur mudharat, baik pada pelaku maupun objek, maka penegakan amar makruf nahi mungkar ini justru bisa menjadi kebatilan. Al-Izz bin Abdussalam mengatakan, “Setiap tindakan kebaikan yang justru kontraproduktif terhadap kebaikan maka hukumnya tidak diperbolehkan.” Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga mengutarakan dalam kitab A’lamul Muqi’in, “Syariat Islam dibangun di atas fondasi kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, yaitu keadilan dan kasih sayang. Karena itu, jika suatu tindakan justru membuat keadilan menjadi kezaliman, kasih sayang menjadi sebaliknya, kemaslahatan menjadi mudharat, atau dari kebijaksanaan menjadi kekerasan maka dapat dipastikan itu semua keluar dari ketentuan syariat.” (hal. 122)

Mengutip pernyataan Imam Quthubi, kedua penulis menjelaskan bahwa suatu beban kewajiban akan gugur bagi orang yang tidak mampu. Menurut Al-Alusi, kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan sesuatu saat hendak melaksanakannya. Perintah syariat selalu memiliki kebijaksanaan atau hikmah tersendiri karena syariat tidak akan dibebankan kepada seseorang jika ia memang tidak mampu melakukannya. Allah Swt berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan memerintahkan seseorang di luar batas kemampuannya.

Demikian pula amar makruf nahi mungkar, tidak akan dibebankan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya. Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Jika ada seseorang berada pada posisi setengah mampu dan setengah tidak mampu maka ia hanya dibebani untuk melaksanakan setengah yang mampu ia laksanakan dan gugurlah kewajiban setengah lain yang di luar kemampuannya.”

Kedua penulis juga mengutip perkataan Imam Al-Ghazali, “Salah satu syarat pelaksanaan amar makruf nahi mungkar adalah kemampuan untuk melaksanakannya. Jika seseorang melihat kemungkaran lalu ia hanya mampu mengingkarinya, tanpa bisa berbuat apa-apa maka ia cukup membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya karena barang siapa mencintai Allah maka ia pasti membenci kemungkaran/kemaksiatan dan mengingkarinya.” Imam Al-Ghazali juga menambahkan, “Contoh ketidakmampuan adalah jika seseorang mengetahui bahwa jika ia menegur suatu kemungkaran maka kemungkaran itu akan tetap berlanjut dan mungkin justeru akan menimbulkan kemungkaran yang lain. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak wajib menegakkan nahi mungkar. Bahkan, dalam keadaan tertentu penegakan nahi mungkar bisa diharamkan terhadapnya.” (hal. 128)

Oleh karena itu, setiap tindakan yang bisa mneyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan maka sebisa mungkin dihindari. Keadaan seperti itu menyebabkan gugurnya kewajiban seseorang dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. (hal. 130)

Kedua penulis lalu menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
  1. Beban kewajiban didasarkan pada kemampuan sehingga jika seseorang tidak mampu melakukannya maka gugurlah kewajiban yang ada.
  2. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan tanpa menimbulkan mudharat pada diri sendiri ataupun orang lain.
  3. Penegakan nahi mungkar yang bisa menyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan dapat disebut sebagai salah satu bentuk ketidakmampuan.
  4. Ketidakmampuan bertindak melalui tangan (kekuatan) atau lisan (larangan atau imbauan) tidak berarti mengugurkan kewajiban untuk bertindak melalui hati (mengingkari dan membenci).
  5. Kewajiban melakukan nahi mungkar bisa gugur dengan tidak adanya kemampuan.
  6. Jika memang melihat kemungkaran, tetapi benar-benar tidak mampu melakukan nahi mungkar maka hukum nahi mungkar bisa menjadi haram.
Di antara hal yang mengugurkan kewajiban penegakan nahi mungkar adalah kemungkinan adanya mudharat berupa tersebarnya fitnah di antara manusia atau tercerai-berainya persatuan kaum muslimin

Senin, 10 Juni 2013

Jangan Menyamakan Orang Lain dengan Mazhab Sendiri



Sejak munculnya ilmu fikih (hukum Islam), para ulama sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Untuk itu, para pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengetahui perbedaan para ulama ini agar tidak mudah menyalahkan orang lain. (hal. 86)

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, “Syarat dari nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran tersebut sudah jelas diketahui dan disepakati. Adapun kemungkaran yang sifatnya masih debatable, sebagian ulama menganggap haram dan sebagian yang lain menganggap halal atau mubah maka tidak perlu melakukan amar makruf nahi mungkar. Karena itu, para pemeluk mazhab Hanafi tidak boleh menyalahkan para pemeluk mazhab Syafi’i yang tengah makan daging kadal. Demikian pula para pemeluk mazhab Syafi’i tidak boleh menyalahkan para pemeluk mazhab Hanafi yang tengah minum anggur yang tak memabukkan atau memberi hak waris kepada dzawil arham (hubungan kekerabatan). Demikian pula dengan permasalahan-permasalahan lain yang masih dalam lingkup ijtihad atau perbedaan pendapat di antara para ulama.

Al-Izz bin Abdussalam menyebutkan tiga batasan penting mengenai hal ini, yaitu sebagai berikut.
  1. Seseorang yang meyakini sesuatu yang debatable itu haram maka ia cukup menggunakannya untuk diri sendiri (mengharamkan untuk diri sendiri).
  2. Seseorang yang meyakini sesuatu yang debatable itu halal maka ia cukup menggunakannya untuk diri sendiri (menghalalkan untuk diri sendiri) dan tidak boleh memaksa orang lain untuk menghalalkannya.
  3. Orang yang tidak yakin bahwa sesuatu yang debatable itu halal atau haram maka ia bisa memberi pengertian kepada orang lain, tetapi tidak boleh memaksakanya.
Kedua penulis juga mengutip pernyataan Abu Ya’la mengenai hal ini, “Adapun permasalahan-permasalahan yang masih menjadi perdebatan di antara para ulama tentang halal-haramnya maka tidak bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar secara mutlak. Kecuali jika perdebatan dalam permasalahan itu lemah dan mayoritas ulama mengharamkannya maka bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar, misalnya mengenai riba naqd (uang) dan nikah mut’ah.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa jika perdebatan para ulama lemah, tetapi tidak menjurus pada mudharat maka hal itu bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar. (hal. 90)

Menutup bab ini, kedua penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
  1. Hal-hal yang masih debatable tidak perlu dijadikan objek amar makruf nahi mungkar.
  2. Amar makruf nahi mungkar boleh dilakukan atas perkara yang debatable, asalkan perdebatannya lemah.
  3. Perkara muamalah yang masih debatable secara lemah tidak boleh dijadikan objek amar makruf nahi mungkar kecuali perkara tersebut menjurus pada transaksi yang diharamkan secara mutlak. Namun, Imam Syafi’i menyebutkan ada dua alternatif, salah satunya adalah cukup mengimbaunya untuk melakukan transaksi yang lebih jauh dari keharaman sehingga tidak menimbulkan perdebatan lagi.
Sebagai pemungkas, ada baiknya kita mendengar nasihat Imam Ahmad bin Hanbal kepada setiap pelaku amar makruf nahi mungkar, “Jangan paksa orang lain memiliki pandangan yang sama dengan dirimu.”