Kondisi semacam ini menjadi sebuah keniscayaan, paska
hilangnya gerakan para dai untuk mengembalikan keseimbangan nilai dan akhlak
dalam hati nurani sebuah bangsa. Agar topan tidak menggulung kita. Para
pemimpin Jamaah Islamiyah yang sadar sejarah menyadari bahwa jihad di jalan
Allah kemudian hanya menjadi gudang fitnah: entah itu sebagai gudang yang
memunculkan masalah-masalah, sebagai sesuatu yang menghalangi ibadah manusia
dengan Tuhannya, menjadi penghalang dari gerakan dakwah, atau menjadi hantu
para pemuda untuk berdakwah. Semua sudah melenceng dari tujuan asal. Jika
sebuah peperangan hanya menjadi lahan pertumpahan darah, ladang dengki, perusak
kesatuan umat, melemahkan kekuatan mereka di hadapan musuh yang sebenarnya,
menjadi penghalang gerakan dakwah dan mengantarkan para pelakunya ke penjara
dan tahanan, maka peperangan semacam ini jelas dilarang. Tidak diperkenankan.
Jamaah Islamiyah menyadari bahwa perang hanyalah sebuah
media (wasilah) dan tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia.
Jika sebuah media bertentangan dengan tujuannya, dan tujuan itu tidak bisa
dicapai dengan cara perang sebagai medianya, maka perang itu menjadi hal
terlarang dalam pandangan syariat. Bahkan diharamkan. Jadi, mencegah dan
melarang peperangan menjadi sebuah kewajiban, karena perang semacam ini tidak
akan mengantarkan kita kepada sebuah tujuan. Perang semacam ini juga tidak
dapat memuliakan apa yang diperintahkan Allah. Lebih parah lagi, ia justru
mendatangkan keburukan-keburukan, bukan melahirkan kemaslahatan, baik dalam
ranah agama maupun dunia. Ada sebuah kaidah fikih yang mengatakan bahwa “setiap
hal yang menghalangi realisasi tujuan adalah batil”. Apalagi jika ia
membalikkan sebuah tujuan.